Jalan Menuju Sejahtera, Bermartabat, dan Beriman
Dalam mewujudkan budaya kasih, kita tidak hanya sekedar memberi perhatian tetapi bertindak menolong orang–orang yang hidupnya belum beruntung, sebagaimana dimandatkan dalam Injil Matius 25 : 31 46. Keberpihakan pada kaum papa miskin menjadi Commitment dan Concern kita sebagai gereja. Gereja Keuskupan Agung Semarang menamakan dirinya GEREJA PAPA MISKIN dengan Commitment dan Concern pada Kaum Kecil, Lemah, Miskin, Tersingkir dan Difabel. Ini menjadi pilihan tepat sejak berdirinya Keuskupan Agung Semarang untuk mewujudkan budaya kasih.
Dengan pilihan sebagai Gereja Papa Miskin ada gerak bersama Seluruh Paroki Se-Keuskupan Agung Semarang dengan perwujudan Dana Papa Miskin yang dikenal dengan sebutan DANPAMIS. DANPAMIS diambil dari kolekte mingguan sebesar 15 % (lima belas persen). Kegunaannya untuk membiayai Gerakan Karitatif dengan sasaran: membantu pembiayaan orang sakit, bantuan darurat pangan, rumah roboh dan masih banyak lagi. Gerak bersama yang lain adalah Solidaritas Umat saat Pra Paskah. Dikenal dengan sebutan Aksi Puasa Pembangunan disingkat APP. Sejak awal APP dirancang atau dikonstruksi untuk membangun manusia seutuhnya secara keberlanjutan. Membangun manusia seutuhnya secara berkelanjutan tersebut dimaknai sebagai PEMBERDAYAAN untuk memartabatkan umat dan masyarakat. Menjadi jelas bahwa DANPAMIS untuk membiayai Gerakan Karitatif dan Hasil APP untuk membiayai Gerakan Pemberdayaan.
Ada 2 (dua) model cara bertindak untuk menolong orang–orang yang hidupnya belum beruntung dengan istilah sederhana yang sering kali kita dengar: MEMBERI IKAN dan atau MEMBERI KAIL. Memberi ikan dikenal dengan istilah KARITATIF dan memberi kail dikenal dengan istilah PEMBERDAYAAN.
Kalau karitatif dipilih sebagai cara bertindak untuk menolong orang–orang yang hidupnya belum beruntung, maka yang terjadi adalah bahwa para kaum papa miskin menjadi tergantung dan kurang mandiri. Kalau pilihannya terus menerus karitatif, tanpa sadar kita menjadikan kaum papa miskin sebagai obyek belas kasih semata. Dengan demikian, tanpa sadar kita sedang merendahkan martabat kaum papa miskin, sekalipun perilaku karitatif penuh keiklasan. Pertanyaan kemudian, bagaimana tugas yang kita emban untuk memartabatkan manusia sebagai CITRA ALLAH?
Membanjirnya Gerakan Karitatif yang dilakukan Pemerintah, Lembaga Sosial maupun Lembaga Agama manapun menjadikan masyarakat berbondong–bondong memiskinkan diri dan akhirnya bermental miskin. Kalau ada bantuan mendaftarkan diri sebagai orang miskin, tetapi kalau tidak ada bantuan umuk–umukan sugih. Yang terjadi adalah orang–orang yang benar–benar miskin tidak kebagian dan pemberian bantuan salah sasaran. Dampak dari Gerakan Karitatif yang massif adalah lunturnya kemandirian, lunturnya keswadayaan, lunturnya solidaritas, lunturnya kegotongroyongan, terjadi konflik sosial baik horizontal maupun vertikal.
Salah–salah MEMBERI KAIL yang dikenal dengan istilah PEMBERDAYAAN terjebak pada Gerakan Karitatif juga. Dikatakan demikian, dikarenakan mereka hanya diberi kail, tetapi tidak dibekali cara mengail, tidak diberi pemahaman/pengertian empang, tambak, sungai atau tempat–tempat lain yang banyak ikannya. Akhirnya kailnya dijual untuk makan. Contohnya, memberi pelatihan kewirausahaan membuat kue dengan paket lengkap. Mulai dari membuat kue sampai pada manajemen usaha. Setelah pelatihan diberi peralatan lengkap dan modal berupa bahan membuat kue. Karena tidak ada pendampingan sampai mereka bisa menerapkan hasil pelatihan dan menjadi pengusaha kue kecil–kecilan, yang terjadi adalah peralatannya dijual untuk biaya hidup. Sia–sialah pelatihan kewirausahaan tersebut. Kalau modelnya seperti ini terus–menerus, mereka hanya ahli mengikuti pelatihan yang satu ke pelatihan yang lainnya supaya mendapat uang saku dan peralatan serta fasilitas yang lain untuk dijual guna bertahan hidup.
Karitatif hanya baik diterapkan dalam kondiri darurat (bencana alam), menjadi pintu masuk pemberdayaan dan untuk orang–orang yang invalid atau orang–orang sudah tidak dimungkinkan untuk diberdayakan. Misalnya orang tua renta/jompo yang tidak punya siapa–siapa dan orang–orang yang berkebutuhan khusus tertentu (karena orang-orang yang berkebutuhan khusus lainnya bisa diberdayakan, misalnya orang buta bisa dididik jadi tukang pijat dan lain–lain).
Pemberdayaan menjadi sebuah pilihan untuk menyejahterakan dan memartabatkan umat dan masyarakat, tetapi tidak mudah sebagaimana membalikkan telapak tangan. Banyak tantangan dan perjuangan panjang untuk menolong orang–orang yang hidupnya belum beruntung dan kemudian bisa bangkit dari keterpurukan dan kemudian memandirikan hidupnya dalam kebersamaan. Kemandirian hidup dalam kebersamaan inilah yang disebut sejahtera dan bermartabat, atau dengan kata lain terwujudnya Bonum Commune.
Ada 3 (tiga) pilar penyangga untuk melakukan pemberdayaan. Yang pertama adalah butuh waktu lama dan investasi tinggi. Yang kedua adalah modal dasarnya hati dan jaringan bagi pelaku pemberdayaan serta potensi dan kearifan lokal yang dimiliki umat/masyarakat yang didampingi. Yang ketiga adalah setia mendampingi dalam jatuh bangunnya umat dan masyarakat yang kita dampingi.
Mengapa butuh waktu lama dan investasi tinggi? Butuh waktu lama dikarenakan yang kita garap manusianya. Mengubah cara berpikir dan cara bertindak mereka. Mulai dari mengubah pola pikir, internalisasi nilai–nilai sampai pada perubahan perilaku butuh waktu lama dan butuh investasi tinggi. Setiap umat/masyarakat yang membangun keberdayaan jangka waktunya berbeda – beda untuk bisa berdaya. Tergantung daya nalar, ketangguhan dan kesungguhan yang mereka miliki untuk berdaya. Dari proses tersebut akan menemukan bentuk yang pas atau sesuai dengan kebutuhan mereka melalui trial and error. Istilah gagal tidak dikenal dalam proses pemberdayaan. Seperti yang disampaikan Pater John Dijkstra, SJ: Buluh yang patah terkulai tidak akan dipatahkannya dan Sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya (disitir dari Yesaya 42 : 3). Yang ada adalah evaluasi dan aksi–refleksi. Mengapa gagal dan cara apa lagi yang harus ditempuh untuk bisa berhasil. Dengan proses tersebut dampaknya investasi tinggi. Investasi tersebut tidak hanya dana saja tetapi juga tenaga dan pikiran.
Ketika kita tidak punya hati atau keberpihakan pada orang–orang yang hidupnya belum beruntung (Kecil, Lemah, Miskin, Tersingkir dan Difabel) kita tidak akan mampu melakukan pemberdayaan. Ketika kita tidak mampu membangun jaringan kita juga tidak akan mampu melakukan pemberdayaan. Jaringan inilah yang menolong kita atas keterbatasan daya yang kita miliki untuk melakukan pemberdayaan. Ketika kita tidak mampu melihat Potensi dan Kearifan lokal yang dimiliki umat dan masyarakat yang kita berdayakan, kita tidak juga akan berhasil memberdayakan mereka.
Setia mendampingi dalam jatuh bangunya umat dan masyarakat yang kita berdayakan menjadi spirit para pelaku pemberdayaan. Dalam proses pemberdayaan terjadi trial and error yang membuat mereka jatuh bangun sampai bisa menemukan bentuk yang pas sesuai kebutuhan mereka untuk berdaya melalui trial and error.
Prinsip Dasar Pemberdayaan adalah PENDIDIKAN, SOLIDARITAS dan KESWADAYAAN. Pendidikan baik untuk membangun pola pikir dan ketrampilan menjadi sarana untuk mengubah cara berpikir dan cara bertindak untuk sejahtera dan bermartabat. Dengan pendidikan umat dan masyarakat terus–menerus digembleng supaya terjadi proses perubahan cara berpikir dan cara bertindak untuk menggapai kesejahteraan dan hidup bermartabat.
Solidaritas perlu dirangkai kembali, agar menjadi kekuatan. Mengingat solidaritas sudah mulai tergerus zaman. Apalagi dengan membanjirnya gerakan karitatif secara massif baik yang dilakukan Pemerintah, Lembaga Sosial maupun Lembaga Agama manapun, sehingga mengikis, menggerogoti dan mengerosi sendi–sendi solidaritas. Untuk merangkai kembali solidaritas diperlukan sarana pendidikan. Dengan solidaritas mereka tumbuh bersama menggapai kesejahteraan dan hidup bermartabat dengan saling tolong–menolong, bantu membantu dan gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat kita yang saat ini makin pudar.
Dengan solidaritas muncul keswadayaan secara bersama dengan adanya perilaku saling tolong– menolong, bantu membantu dan gotong royong. Sekali lagi pendidikan menjadi sarana untuk membangun saling tolong–menolong, bantu membantu, dan gotong royong. Dengan keswadayaan menumbuhkan hidup bermartabat dengan saling memartabatkan. Meminjam istilah Bung Karno BERDIKARI (Berdiri Di Atas Kaki Sendiri). Berdikari inilah wujud dari insan yang sejahtera dan bermartabat.
Dalam Rencana Induk Keuskupan Agung Semarang (RIKAS), visinya adalah Terwujudnya PERADABAN KASIH dengan indikator : Hidup Sejahtera, Bermartabat dan Beriman. Dalam mewujudkan PERADABAN KASIH dengan indikator 3 (tiga) hal tersebut, tawarannya adalah PEMBERDAYAAN dengan segala implikasinya. Rentang waktu untuk terwujudnya PERADABAN KASIH dari Tahun 2016 hingga 2035 dirasa cukup untuk bisa mewujudkan PERADABAN KASIH, bila yang semakin diperbesar adalah Gerakan Pemberdayaan, ke depan Gereja makin makmur, karena semakin berkurang umat dan masyarakat yang disantuni. Mereka yang telah berdaya berbalik menyantuni gerakan Gereja dan sesamanya yang butuh diberdayakan sebagai balas budi atas keberdayaan mereka. Dengan demikian kehidupan iman mereka tertata, karena mereka tidak lagi memperjuangkan kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan pendidikan, kesehatan dan jaminan hari tua).
Tahun 2019 ini, RIKAS memasuki Tahun Ke IV. Masih ada 16 (enam belas) tahun lagi untuk terwujudnya Peradaban Kasih. Keuskupan Agung Semarang telah lebih dari cukup memiliki pranata social untuk mewujudkan visi tersebut. Pastoral berbasis data. Pastoral tersebut merupakan basis kekuatan atau pijakan untuk keberdayaan masyarakat. Pastoral berbasis data tidak sekedar menumpuk Kartu Kepala Keluarga, tetapi perlu survei, dianalisa untuk menentukan subyek umat/masyarakat yang diberdayakan. Ini yang menjadi tugas LITBANG PAROKI. Optimalisasi Kaum Awam menjadi basis gerakan pemberdayaan dalam panca tugas Gereja (Diakonia, kerygma,liturgia koinonia dan martirya).
Bagaimana Kaum Awam berperan aktif dan terlibat secara effektif mewujudkan Peradaban Kasih melalui Gerakan Pemberdayaan Umat dan Masyarakatdan berani menjadi manusia martirya atau saksi Kristus. Struktur yang ada mulai dari Pengurus Lingkungan, Pengurus Wilayah Pengurus stasi , Pengurus Paroki, Pengurus Rayon, Pengurus Vikep sampai pada Komisi – Komisi di Keuskupan Agung Semarang bisa bersinergi dan bergerak dari struktur menjadi infrastruktur guna terbangunnya keberdayaan Umat guna terwujudnya Peradaban Kasih. Kaderisasi Berjenjang mulai dari PIA (Pendampingan Iman Anak), PIR (Pendampingan Iman Remaja), Misdinar, OMK Dewan Paroki dan ormas–ormas Katolik benar – benar mejadi Kaderisasi berjenjang dengan modul / kurikulum yang berjenjang dan terpadu. Jangan sampai menjadi anak tangga yang terputus. Hal tersebut menjadi modal dasar sumberdaya manusia dan kekuatan berjejaring baik internal maupun eksternal. Optimisme tinggi bisa dikedepankan bilamana Pranata Sosial tersebut difungsikan secara optimal dan effektif untuk keberdayaan umat/masyarakat demi terwujudnya Peradaban Kasih.
Selamat Tahun Baru 2019 mari kita bergandengan tangan bersinergi untu mewujudkan tujuan bersama kita sebagai Gereja.
Petrus Puji Sarwono
Pegiat Sosial Lintas Isu
Mulai awal tahun 2015, salah satu aktivitas sosialnya terlibat bersama LPUBTN KAS
Bertempat tinggal di Semarang