Momen berkumpul bersama para penggerak Lembaga Pendamping Buruh Tani Nelayan Keuskupan Agung Semarang dalam satu kesempatan adalah sebuah anugerah. Hal tersebut yang dirasakan oleh semua para penggerak pada hari minggu pagi 16 September 2018 bertempat di Aula Susteran Ganjuran, Yogyakarta.
Pertemuan yang dihadiri lebih kurang 60 orang para penggerak dari empat kevikepan (Semarang, Yogyakarta, Kedu, dan Surakarta) Keuskupan Agung Semarang ini merupakan rangkaian dari perayaan hari terbentuknya LPUBTN KAS yang pada bulan ini memasuki usia 58 tahun. Memang angka yang hampir sepuh, namun semangat muda selalu membara di jiwa para penggerak. Para penggerak pun saling mengucap syukur bersama atas nikmat karunia karena tetap setia dalam panggilan untuk melayani masyarakat kecil, khususnya Buruh Tani Nelayan.
Melalui perjumpaan yang berlangsung sehari tersebut, para penggerak berupaya untuk selalu belajar dan mengingat lagi sejarah Lembaga Pendamping Usaha Buruh Tani Nelayan Keuskupan Agung Semarang dengan menyaksikan video wawancara eksklusif dengan Romo Gregorius Utomo, Pr selaku saksi sejarah. Beliau memaparkan bahwa LPUBTN KAS (dulu bernama YPUBT) memiliki serangkaian sejarah yang panjang.
LPUBTN KAS merupakan buah dari kerasulan sosial yang digagas oleh Mgr. Soegijapranata dan Romo Dijkstra sebagai sumbangan ikhlas Gereja Katolik bagi Tanah Air Indonesia tanpa melihat perbedaan di dalam masyarakat. Dengan kata lain, Kerasulan Sosial menjadi muara dari berbagai Gerakan Pancasila yang tumbuh subur pada tahun 1950an, seperti Buruh Pancasila, Petani Pancasila, Nelayan Pancasila, Paramedis Pancasila, dan lain sebagainya di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Meskipun dilahirkan oleh Gereja Katolik namun berbagai gerakan tersebut bukan menjadi organisasi katolik. Gerakan dimaksudkan untuk melayani masyarakat sehingga tidak membatasi dalam lingkup gereja saja, tetapi meliputi seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang suku, agama, dan ras. Hal ini yang menjadi titik tolak inklusifitas Gereja Katolik untuk berkarya bagi negara dan bangsa Indonesia.
Tujuan utamanya adalah gereja memberikan sumbangsih kepada tanah air untuk mengatasi persoalan dan tantangan zaman di dalam kehidupan masyarakat sekaligus mengisi ruang kemerdekaan demi tanah air Indonesia. Teristimewa lagi Gereja pada saat itu diteguhkan ensiklik Mater et Magistra (1961) untuk membuat suatu perkembangan sosial yang lebih baik.
Romo Utomo pun mengingatkan bahwa gerakan tersebut dapat dikatakan sebagai gerakan “sinting”. Maka dari itu, para penggerak sosial harus “sinting”. Artinya, para penggerak di bidang sosial ekonomi harus mampu berbuat sesuatu yang luar biasa pada lingkup cultural value system di dalam masyarakat.
Di samping itu, dalam misa perayaan ulang tahun LPUBTN KAS, Romo FA Sugiarta, SJ, sebagai Ketua berpesan bahwa para penggerak sosial ekonomi saat ini harus mampu berpikir nggiwar alias keluar dari pakem atau berpikir kreatif sesuai konteks zaman terutama situasi dan kondisi di lapangan. Maka dari itu, para penggerak tidak melulu mesti kaku dalam berbuat sesuatu yang bermanfaat demi kepentingan masyarakat.
Ketika terjadi perbedaan pendapat maupun cara pandang, misalnya, bukan berarti menjadi alasan untuk berhenti dalam melakukan sesuatu, melainkan dapat menjadi pemantik untuk mampu menghasilkan suatu alternatif yang terbaik bagi terwujudnya suatu gerakan sosial ekonomi di masyarakat kecil. Pendampingan sekaligus juga menjadi pemberdayaan agar masyarakat dapat mandiri dan mampu mengatasi ragam pelik persoalan.
Pertemuan yang kiranya terlalu singkat tersebut, namun membuahkan kegairahan bagi para penggerak LPUBTN KAS untuk mengobarkan kembali semangat perutusan dan pelayanan bagi masyarakat kecil. Momen kebersamaan yang berlangsung hingga sore hari juga memupuk kehangatan dan persaudaraan di antara para penggerak untuk semakin mampu bersinergi dengan banyak pihak dalam setiap perencanaan dan kegiatan pendampingan di waktu yang akan datang. (ƒdr)