Catatan Dialog Karya (Bagian Kedua)

Pengembangan Karya

Sejak medio 2007, LPUBTN KAS mengkonsep kembali pola pengembangan karya pelayanan dari titik pantura. Berangkat dari Rumah Pelayanan, LPUBTN mulai mengintegrasikan dan mendukung  gerak pelayanan bersama paroki melalui dialog agama, dialog budaya, dan dialog kemiskinan guna memahami kondisi masyarakat.

Dari satu titik bergerak ke titik lain, LPUBTN melakukan upaya pendampingan sembari mencari akar masalah kemiskinan, pada khususnya di Jawa Tengah dengan melihat data pemerintah terkait wilayah yang masih rawan kemiskinan (wilayah merah). Di dalam proses pendampingan LPUBTN menemukan perspektif baru dengan turut melakukan pengembangan kearifan lokal. Di samping itu, LPUBTN juga memberikan pembekalan mengenai keberlanjutan pendampingan hingga dapat mencapai kemandirian.

Sebagai Lembaga Gerak di Keuskupan Agung Semarang dan menjadi bagian dari pengembangan kaum lemah miskin tersingkir, terutama Buruh, Tani dan Nelayan, maka upaya pemberdayaan yang diperjuangkan LPUBTN selalu seiring dengan langkah pembangunan  kesejahteraan yang diharapkan dapat mewujudkan martabat manusia dan kemanusiaan dalam satu kesatuan iman dan keutuhan ciptaan.

Secara strategis, pada tahun 2016 LPUBTN melakukan pengembangan dan pendampingan dengan membagi 4 wilayah pelayanan, yakni Semarang, Kedu, Surakarta, Yogyakarta (sesuai dengan kevikepan Gereja Katolik). Dinamika pelayanan menyesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika tiap wilayah tersebut.

Pelayanan LPUBTN diharapkan menjadi Gereja yang Inklusif serta dapat mewujudkan wajah sosial Gereja. Sebagian besar penggerak dan wilayah dampingan bukan hanya berbasis Paroki atau Gereja katolik, melainkan selalu membentuk ruang dialog agama dialog kebudayaan lewat perjuangan bersama untuk kesejahteraan. Dengan kata lain, LPUBTN mencoba melakukan gerakan sosial ekonomi di berbagai lini kehidupan masyarakat.

LPUBTN melakukan pengembangan dengan pola sinergi, berjejaring, dan kerja sama banyak pihak. Hal tersebut menjadi alasan keterbukaan rumah LPUBTN sebagai rumah bagi semua terutama dalam gerakan sosial ekonomi membangun solidaritas untuk buruh, petani dan nelayan.

Tahun 2017 LPUBTN menggagas rencana strategi dengan melibatkan Dewan Karya Pastoral untuk memantapkan gerak dengan pola-pola pencapaian Arah Dasar dan Rencana Induk Keuskupan Agung Semarang. Maka dari itu, LPUBTN memunculkan pemikiran dan langkah yang diharapkan dapat menggerakan masyarakat secara utuh dan menjadi bagian integral dari gerakan sosial ekonomi untuk membangun kesejahteraan bersama.

Dasar awal dari pola pengembangan LPUBTN adalah spiritualitas Pengembangan Sosial Ekonomi yang selalu membangun spiritualitas inkarnatoris yang menjadi bagian dari proses penjelmaan sabda menjadi daging, dan seluruh perjuangan dalam aktivitasnya adalah bagian dari perwujudan Iman, tidak menjadi sekedar aktifitas sosial yang tanpa roh tetapi didasari dengan iman dalam upaya penjelmaan (Iman terwujud dengan laku hidup manusia).

Perjuangan itu bukan sekedar motif sosial atau motif ekonomi tetapi dilandasi iman yang kuat. Artinya, LPUBTN selalu berproses terus menerus sehingga sanggup masuk di kedalaman, atau berhasil sublim dalam roh dan jiwa comunio atas penggembalaan umat beriman dan bergerak dengan melibatkan, mengembangkan dan mencerdaskan atau memberdayakan (3M bdk. Katekismus PSE No. 15 KWI).

Dialog Karya

Pada awal tahun 2018, LPUBTN bersama para penggerak dan relawan dari empat wilayah melakukan dialog karya dengan Bapa Uskup Agung, Mgr Robertus Rubiyatmoko. Berbagai diskursus dan problema terkait pendampingan dan pemberdayaan terbahasakan dalam dialog karya. Melalui dialog, LPUBTN berupaya untuk dapat menemukan stimulus-stimulus dan formulasi gerakan serta ambil bagian dari perluasan solidaritas dan perhatian Gereja terhadap buruh, tani dan nelayan.

Keuskupan Agung Semarang memiliki sumber solidaritas yang cukup seperti  Aksi Puasa Pembangunan (sebagaimana historisitasnya telah disinggung di atas), dan Dana Papa Miskin (Danpamis) sebagai insfratruktur gerakan yang dicanangkan sebagai Hari Orang Miskin Sedunia guna menjadi gerakan solidaritas dan bentuk perhatian Gereja yang cukup besar terhadap orang miskin.

Di dalam Dialog Karya, Bapa Uskup berupaya menegaskan bahwa wajah sosial Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang ditampakkan tiga lembaga yang dimiliki, yakni Yayasan Sosial Soegijapranata (YSS), Karina KAS, dan LPUBTN KAS. Maka dari itu, dalam koordinasi bersama Komisi PSE penting tercipta sinergi di antara ketiga lembaga tersebut dalam integrasi gerakan sosial ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.

Beberapa usulan gerak sosial ekonomi dalam solidaritas perlu menemukan kembali pola pengembangnnya seperti APP. Pengembangan solidaritas tersebut tentu memiliki intensionitasnya masing-masing sebagai perwujudan maupun tujuan gereja yakni, terwujudnya peradaban kasih dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, bermartabat, dan beriman.

Kiranya, APP perlu disesuaikan dengan perkembangan situasi kondisi dan zaman. Dengan kata lain, APP beradaptasi agar tetap relevan karena pembangunan yang dimaksud dalam APP adalah pembangunan manusia seutuhnya (Buku Pedoman APP KWI Seri PSE 13). Maka dari itu, perlu dilakukan suatu upaya bukan hanya memberi bantuan berupa material, melainkan perlu terdapat pengetahuan dan dukungan moral secara berkelanjutan yang sudah tentu membutuhkan energi tanpa batas apalagi terkurung dalam ruang dan waktu yang sempit (lihat pola pembangunan manusia SDGs).

Menyalakan kembali api gerakan yang telah dipantik oleh Mgr. Soegijapranata dan Romo John Dijkstra adalah sebuah upaya yang membutuhkan keterlibatan banyak pihak. Daya dukung solidaritas yang telah ditumbuhkan sejak awal merupakan suatu bentuk konstrukstif di dalam upaya pemberdayaan dan pembangunan masyarakat, serta manusia di dalamnya demi menjadi manusia yang merdeka sesungguhnya.

Berkah Dalem

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.