Peringatan hari buruh yang selalu dilakukan pada hari pertama bulan mei, pada kenyataannya masih banyak persoalan dan tantangan yang dihadapi para buruh maupun serikat buruh. Maka dari itu, Lembaga Pendamping Usaha Buruh Tani Nelayan melalui John Dijkstra Institute pada hari Minggu, 22 Juli 2018, mengadakan pendidikan bagi buruh dan serikat buruh tentang negosiasi dengan mengundang Bapak Valentinus Suroto, SH., MH., seorang pengajar di Program Studi Hukum, Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata.
Mengapa negosiasi? Singkatnya, hal tersebut dikarenakan buruh maupun serikat buruh belum digdaya dalam menempatkan posisi dan kepentingannya. Posisi buruh cenderung bergantung pada tempat ia bekerja, sementara serikat buruh juga masih sering dilematis ketika memperjuangkan nasib dan kepentingan para buruh. Belum lagi terkait pemberangusan terhadap serikat buruh, atau yang lebih akrab dengan istilah union busting.
Sebelum memberikan pemaparan, Pak Suroto lebih dulu mengajukan pertanyaan kepada belasan buruh yang hadir pada pendidikan negosiasi ini, “apakah lebih memilih serikat atau diri sendiri, semisal keluarga atau istri?”. Sontak pertanyaan singkat tapi menohok tersebut membuat para buruh tampak ragu untuk menjawab secara langsung.
Dari pertanyaan pemantik tersebut, Pak Suroto, yang juga mengantongi sertifikat advokat dan mediator, lekas membawa alur pembahasan pada perihal negosiasi. Bahwasannya negosiasi sejatinya telah biasa dilakukan dalam keseharian siapapun. Buruh yang tergabung dan aktif dalam serikat buruh, umpamanya, ketika ingin rapat atau menghadiri suatu pertemuan, apalagi di luar kota, sudah tentu sering melakukan negosiasi kepada istri atau suami masing-masing agar diperbolehkan.
Padahal dari hal tersebut sudah terjadi satu bentuk aktifitas negosiasi, yakni tawar menawar atau upaya menyamakan pendapat yang berbeda. Tujuannya tidak lain adalah mempengaruhi pihak tertentu agar suatu hal dapat tercapai dengan seksama. Di samping itu, bahkan lobi juga kadang diperlukan sebagai suatu langkah pendahuluan sebelum melakukan negosiasi.
Selanjutnya, narasumber pun menjelaskan kapan negosiasi itu diperlukan atau tidak diperlukan. Kala terbaik negosiasi dilakukan adalah ketika suatu pihak tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan suatu hasil yang diingikan, dan umumnya ketika terjadi konflik antar para pihak. Sedangkan negosiasi tidak diperlukan apabila salah satu pihak tidak mewakili atau memiliki kekuasaan dari pihak tertenu.
Menyoal kekuasaan, Pak Suroto pun menekankan bahwa dalam negosiasi itu buka padu atau bertengkar, tetapi berunding sembari menyampaikan isi hati dan pikiran untuk mencapai kesepakatan yang terbaik dalam menyelesaikan suatu permasalahan maupun perbedaan. Oleh karena itu, negosiasi sudah semestinya memiliki persiapan, antara lain, kekuatan untuk posisi tawar (bargaining position), waktu yang dimiliki, dan yang tidak kalah penting ialah informasi atau data.
Dalam kesempatan pendidikan ini, para buruh dan serikat buruh yang hadir juga mencoba untuk melakukan simulasi terkait persoalan yang sering dihadapi, salah satunya adalah perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dalam studi kasus tersebut, buruh maupun serikat buruh harus memperhatikan dan memahami betul berbagai faktor seperti inflasi, perangkat hukum yang mengatur perburuhan (Permenaker No 1 Tahun 2017, PP 78 Tahun 2015, Permenakertrans No. 28 Tahun 2014, dan lain sebagainya), bahkan pemahaman perihal Indonesia yang saat ini masuk dalam klub negara satu triliun dollar (One Trillion Dollar Club).
Dalam ruang lingkup Jawa Tengah, pada khususnya, sedikitnya tercatat 14.000 perusahaan, namun sayangnya baru sekitar sepuluh persen yang sudah memiliki serikat buruh. Padahal, setiap perusahaan yang memiliki lima puluh orang atau lebih wajib memiliki serikat. Oleh karena itu, berbagai upaya negosiasi penting dilakukan guna mewujudkan kesejahteraan buruh yang manusiawi dan bermartabat. (ƒdr)